TERLALU BANYAK cap diberikan oleh pakar Barat, terutama ahli ketimuran (orientalist), terhadap Samin Suråsentikå (h. 1859-1914) dan ajarannya, agåmå Adam. Yang paling parah ialah tuduhan bahwa Samin itu ateis dan ajarannya menolak gagasan tentang Tuhan, tak peduli itu Ållåh atau ilah yang lain.
Kita seakan-akan diajak hanyut dan mengikut bahwa pada akhirnya stempel ini benar dan bukannya menyesatkan. Sayang, Ki Samin telah meninggal, tak bisa lagi diwawancarai untuk dimintai kejelasan apa yang sebenarnya dikehendakinya. Naskah pedoman ajaran yang ditulisnya juga entah masih ada entah tidak. Kita hanya bisa berharap mendapatkan secercah kebenaran dari “catatan” orang lain, yang rata-rata memang bisa dibilang pakar.
C.L.M. Penders, M.A., Ph.D., dari Departemen Sejarah, Universitas Queensland, Australia, misalnya, menulis “Around 1890, Surontiko Samin, an illiterate farmer dari desa Randublatang in the Blora region, began to spread his basically religious teachings: the agåmå Adam –the religion of Adam. Rejecting the idea of God –either Ållåh or any other kind– the agåmå Adam was a kind of agricultural fertility cult, placing great emphasis on the basic relationships of man with the earth. Closely connected with this was Samin’s view of marriage, sex and the position of women.”1
Terjemahannya secara bebas kurang lebih: “Pada kira-kira tahun 1890, Samin Surå(se)ntikå, petani buta huruf dari desa (di) Randublatung di daerah Blora, mulai menyebarkan ajarannya yang pada dasarnya agama: agåmå Adam. Menolak gagasan tentang Tuhan –baik Ållåh maupun sembahan apa pun yang lain–, agåmå Adam itu semacam pemujaan kesuburan pertanian, yang menempatkan penekanan besar pada hubungan dasar manusia dengan bumi. Terkait erat dengan ini ialah pandangan Samin tentang pernikahan, seks, dan kedudukan perempuan.”
Tuduhannya itu didasarkan pada pendapat Victor T. King, “Indeed Samin’s emphasis on fertility, sexual imagery and the magical power inherent in sex is reminiscent of traditional agricultural fertility cults. Like other peasant cults in other part of the world, these Javanese cults held the belief in a conjugal union between heaven and earth. From this union comes all living things. These beliefs also emphasize the important position of the peasant farmer who participates in the ‘marriage’ by tilling the soil.”2
(Sungguh penekanan Samin pada kesuburan, tamsil seksual, dan kekuatan magis yang ada dalam seks mengingatkan pada penyembahan tradisional atas kesuburan pertanian. Seperti kepercayaan petani yang lain di bagian lain dunia, pemujaan oleh orang Jåwå ini percaya pada pertalian suami-istri antara surga dan bumi. Dari hubungan ini, timbul segala sesuatu yang hidup. Kepercayaan ini juga menekankan kedudukan penting petani yang ikut dalam ‘perkawinan’ itu dengan cara bercocok tanam.)
Dalam pandangan C.L.M. Penders, kecintaan magis-mistis yang kuat kepada tanah ini menjelaskan kenapa orang Samin biasanya merupakan petani yang paling rajin dan berhasil di daerah itu.3
Akan tetapi, tulis C.L.M. Penders dengan mengutip laporan penelitian The Siauw Giap, langkah menekan pemerintah Belanda koloniallah yang dipandang oleh kaum Samin “infringe the sacred bond between the peasants and the earth…”4 (melanggar ikatan suci antara petani dan bumi) dan demikianlah, dengan berbagai cara, agåmå Adam merupakan pernyataan kembali, peneguhan nilai suci lama yang terancam oleh campur tangan luar.
Sementara itu, A. Pieter E. Korver menulis, “At the core of Samin’s teachings was the so-called ‘faith of Adam’, a form of natural religion of which the veneration of the earth and a high estimation of the role of the peasant in society were important features. Samin’s teachings were further marked by a distinct puritanical trait; stealing, lying and adultery were forbidden to Samin’s followers. Women, like the peasants, were also held in high respect by the Saminists. In addition, the Saminists were non-Moslem and did not believe in the existence of Ållåh.“5
(Yang ada pada inti ajaran Samin ialah apa yang disebut ‘agåmå Adam’, sebentuk agama alamiah yang memandang penting pemujaan bumi dan penilaian tinggi atas peran petani dalam masyarakat. Ajaran Samin lebih ditandai dengan ciri puritan yang nyata; Mencuri, berdusta, dan berzina terlarang bagi penganut Samin. Wanita, seperti petani, juga diperlakukan dengan sangat hormat oleh orang Samin. Selain itu, orang Samin itu non-muslim dan tidak percaya akan keberadaan Ållåh.)
Dr. Berhard Dahm pun menulis, “… gerakan komunis utopis, yang tidak ada kaitannya dengan tradisi Ratu Adil –akan tetapi yang juga menggunakan… cara yang tidak memberi(kan) harapan– sama-sama memanfestasikan watak anti-asing, dan berhasil menarik… pengikut dalam jumlah besar sekali,” dengan catatan kaki: “yakni Gerakan Samin.”6
Mau lebih parah lagi? Juga tidak mau memandangnya sebagai gerakan mesianisme: mencari juru selamat yang di Jåwå lebih dikenal sebagai Imam Mahdi, A.V.E. Korver mengajak kita mengaji Saminisme dari sudut pandang milenarisme: yang semula meyakini bahwa Kristus akan berkuasa di dunia selama seribu tahun, mengalahkan setan, dan memasukkan umat ke dalam kemuliaan abadi.7
Itu semua baru sebagian dari tuduhan, cap, dan giringan yang mau tak mau harus dikaji secara kritis. Akan tetapi, dari mana kajian yang bersifat bantahan ini harus dimulai?
Belakangan ini, di Internet, masalah Samin “menghangat lagi” atau “kembali memeroleh momentum”. Mateus Lesnanto dan Leornadus Kristianto Nugraha, misalnya, dalam Archetho’s Weblog, menulis “Pengantar” berikut ini.
“Orang Samin kerap… diasosiasi… dengan masyarakat ‘terbelakang, tidak sopan, pemberontak, tertutup, tak mengenal agama, dan dicurigai anggota PKI8′. Tetapi, apakah semua itu benar? Berdasarkan pengalaman sekelompok orang yang mendekati kelompok ini, orang Samin adalah orang yang sama sekali jauh dari gambaran di atas. Paper ini akan menjelaskan identitas masyarakat Samin dari sudut pandang perlawanan mereka terhadap dominasi penguasa, yang dilandasi semangat tanpa kekerasan.”9
Akhirnya, kedua peneliti ini sampai pada simpulan:
Pokok ajaran Saminise sebenarnya sangat sederhana. Namun, yang perlu pertama-tama diingat adalah pandangan Samin berada dalam mainstream Jåwå. Artinya, ada latar belakang ke-Jåwå-an tertentu yang melandasi pemikiran orang Samin.
Hidup wong sikep itu mengikuti (agåmå) Adam, yang ditafsirkan dari kata damel (adam = dam = damel), yaitu mengolah tanah pada waktu siang dan melaksanakan tatané wong pada malam hari.
Mereka kemudian memilih agama budå (bedakan dari Buddhå) yang berarti mlebuné udå (masuknya telanjang). Penganut Samin sendiri mengartikan budå dalam perspektif mereka. Bagi mereka, dengan beragama budå, mereka tidak mengubah agama mereka.
Samin Suråsentikå mencoba membentuk gerakan perlawanan yang tidak menggunakan sarana kekerasan fisik –semodel konsep Ahimsa Gandhi. Inilah model perlawanan secara “halus”, nonfisik (kultural).10
Jadi, dari mana sebenarnya cap pemberontak itu pertama-tama berasal? Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Sutamat Arybowo memberikan jawabannya.
“Beberapa catatan kolonial Belanda menyebut bahwa Kiai Samin Suråsentikå… sebagai pembangkang, pemberontak, selalu melawan pemerintah. Oleh karena itu, ajarannya tidak boleh disebarluaskan dan oleh mainstream agama pada saat itu dianggap sesat, lalu mau tidak mau ia harus diasingkan dari pengikutnya,” tulisnya.11
“… nilai tradisi yang dapat dipetik adalah… strategi ajaran orang Samin dalam …implementasi… kehidupan sehari-hari. Misalnya, mereka antikekerasan, jujur, terbuka, dan tidak mau menyakiti orang lain. Orang Samin mengejawantahkan kehidupan dengan solidaritas sosial.”12
Nah, sampai di sini, Anda rasakan tidak adanya bau kontradiksi? Yang satu bilang ateis yang lain bilang ajaran Samin itu agama, misalnya. Oh ya, Anda mungkin bertanya kepada saya: apa pendapat saya sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di tanah yang melahirkan Saminisme?
Saya yakin Ki Samin Suråsentikå tidak ateis dan Saminisme bukan komunisme. Alasannya? Ajaran utamanya tentang sabar lan trokal (sabar dan tawakal) saja sudah menunjukkan bahwa ada Sesembahan yang disebut Tuhan dalam agåmå Adam. Kalaupun kata Adam diartikan “ndamel” (membuat) pun, itu justru menunjukkan adanya “Ingkang nDamel” (Yang Membuat, Yang Menciptakan).
Kita, memang, mau tak mau harus mengajinya secara adil, tidak memihak, dan apa adanya. Kalau perlu, kita harus memandangnya dengan menyisihkan definisi yang secara mentradisi sudah tertanam dalam benak kita. Dengan kata lain, pandanglah Saminisme dengan jernih, tanpa prasangka, dengan menggunakan term (baca: bahasa) mereka sendiri.
Marilah kita baca Saminisme sebagaimana Kiai Samin menulisnya dalam kitabnya dan juga mengajarkannya lewat sesorah-(harfiah: ceramah)-nya. Siapa tahu kita bisa memetik mutiara –yakni nilai-nilai luhur– yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Saya sih berharap dapat menyusun butir-butir cara berpikir yang spesifik dan lugas itu menjadi lateral thinking yang saya mencapnya: neo-Saminisme.
2 Comments:
nga perlu kekanan untuk jadi fundamentalis atau kekiri untuk jadi revolusioner, cukup ndamel menjalani hidup ini sewajarnya, secukupnya, seenaknya untuk jadi seorang pejuang kehidupan...
Setojooooooo
Posting Komentar