Minggu, 26 April 2009

Nepal Kota Dengan Seribu Kuil

Negeri Seribu Kuil. Julukan itu tidak berlebihan diberikan kepada Nepal. Di Lembah Kathmandu—di mana Kathmandu, ibu kota Nepal, berada—saja, setidaknya ada tujuh kompleks besar kuil Hindu atau Buddha berusia ribuan tahun. Dalam setiap kompleks kuil bisa ditemui puluhan atau bahkan ratusan candi, besar maupun kecil, yang dibangun oleh berbagai dinasti monarki yang berbeda yang pernah berkuasa di Nepal. Ketujuh kompleks kuil ini seluruhnya masuk situs warisan sejarah yang dilindungi Perserikatan Bangsa–Bangsa (UNESCO World Cultural Heritage Sites). Hebatnya, ketujuh kompleks besar kuil yang seluruhnya berada dalam radius 20 kilometer itu terawat dengan sangat baik dan hingga sekarang masih tetap digunakan sebagai tempat ibadah atau penyelenggaraan upacara atau festival keagamaan oleh masyarakat setempat.

Hal ini setidaknya terlihat dari masih dilestarikan dan dihormatinya kuil Kumarichwok atau Kumari ghar yang merupakan tempat tinggal Dewi Kumari, dewi yang sangat disegani oleh umat Hindu di Nepal.

Keberadaan Kumarichwok dengan Dewi Kumari sebagai wujud reinkarnasi Dewi Durga—yang terus dijaga kesinambungannya melalui sosok–sosok anak gadis yang dipilih dari warga setempat, yang dianggap bisa mewakili kesempurnaan Kumari—dan masih dipeliharanya tradisi keagamaan di kuil–kuil yang ada membuat kawasan Lembah Kathmandu berbeda dengan kuil–kuil Hindu atau Buddha di negara lain.

Sosok Kumari sebagai the living goddess membuat Lembah Kathmandu bukan lagi museum mati para dewa dan dewi, tetapi benar–benar museum hidup bagi turis dari dunia luar maupun masyarakat Nepal yang 80 persen beragama Hindu dan 8 persen menganut agama Buddha.

Ke Nepal tidak akan lengkap kalau belum mengunjungi dari dekat kuil–kuil tersebut. Bagi turis asing, the living museum ini terasa semakin semarak dengan adanya berbagai festival dan ritual keagamaan yang silih berganti digelar sepanjang tahun nyaris tanpa jeda dengan ritual atau festival lain di negeri itu.

Di luar kompleks–kompleks candi besar tersebut, masih banyak kuil atau kumpulan kuil terpisah yang tersebar dan dengan mudah bisa ditemui hampir di setiap tempat dalam jarak yang tidak berjauhan di tengah permukiman penduduk.

Selain Kathmandu sebagai ibu kota pemerintahan dan tempat tinggal raja, Lembah Kathmandu yang berbentuk seperti cekungan di tengah daratan Nepal dan di sisinya dikelilingi barisan pegunungan tertinggi dunia, juga tempat keberadaan dua kota bersejarah Nepal lainnya, yakni Patan dan Bhaktapur.

Sebagaimana halnya Kathmandu, Patan dan Bhaktapur juga surganya istana–istana tua dan ratusan kuil Hindu dan Buddha. Sejarah Kathmandu sendiri sangat menarik untuk disimak. Lembah Kathmandu dulunya konon adalah sebuah danau raksasa yang kemudian disulap menjadi daerah yang bisa dimukimi oleh Manjushree, dengan cara memotong satu sisi perbukitannya untuk mengalirkan keluar air yang merendam kawasan danau tersebut.

Wisata petualangan

Bukan hanya Lembah Kathmandu dengan wisata budayanya yang bisa ditawarkan Nepal. Masih ada Pokhara, Nagarkot, Annapurna, Chitwan, dan Lumbini, yang tak kalah populer di kalangan turis. Lumbini adalah lokasi wisata ziarah karena di situlah tempat lahir Sidharta Gautama atau Sang Buddha. Chitwan terkenal dengan taman nasional dan spesies langkanya.

Sementara Lembah Pokhara yang berada tepat di kaki pegunungan Annapurna dan Machhapuchhre di Himalaya terkenal karena keindahan danau– danau dan pemandangan Himalaya–nya. Annapurna sendiri dengan kawasan konservasi alamnya merupakan rute trek favorit para pendaki profesional.

Dari Nagarkot yang berada di ketinggian 2.195 meter dan hanya berjarak 32 kilometer dari Kathmandu, kita dengan leluasa juga bisa menyaksikan bentangan Himalaya. Itu kalau udara cerah. Pegunungan tertinggi di dunia dengan beberapa puncaknya yang terkenal seperti Sagarmatha (Everest), Kanchanjunga, Makalu, Dhaulagiri, dan Annapurna ini terlihat memanjang mulai dari timur, utara, hingga barat Nepal. Banyak turis datang ke sini untuk melihat matahari terbit dan terbenam di atas Himalaya, atau sekadar melihat Himalaya dari jauh dan suasana kota Kathmandu dari atas.

Sayangnya, Kompas tidak cukup beruntung saat berkunjung ke sana karena tidak bisa menyaksikan hamparan salju putih yang menyelimuti punggung Himalaya. Sebenarnya, dengan paket penerbangan khusus bertarif 125 dollar AS, kita bisa merasakan pengalaman mendebarkan terbang melayang di atas Himalaya dan Everest dengan pesawat ringan selama satu jam.

Namun, karena keterbatasan waktu, kami memilih jalur paling dekat dan murah untuk mengintip Himalaya dari posisi paling strategis, yakni dari Nagarkot. Impian kami saat berkunjung ke Nepal adalah melihat Himalaya dan Everest yang diselimuti salju. Tetapi seperti diingatkan sejak awal oleh pemandu kami, Sharad Surestha, kami harus siap kecewa karena datang pada bulan yang salah.

Juni–Juli adalah puncak musim panas di Nepal. Suhu udara di Kathmandu, bahkan juga di Nagarkot, masih sekitar 40 derajat Celsius. Jadi, dari sini jangan harap bisa melihat salju di Himalaya. Apalagi bulan–bulan itu juga musim hujan tropis (monsoon). Cuaca sewaktu–waktu bisa berubah dari panas terik menjadi hujan deras dan sesekali mungkin angin puting beliung.

Hampir setiap saat awan tebal menyelimuti Himalaya. Alhasil, yang kita lihat dari kejauhan hanya kaki Himalaya yang membentang panjang dan hijau gelap di bawah bayang–bayang awan tebal karena cuaca yang memang lagi tidak bagus.

Meskipun demikian, tidak sepenuhnya sia–sia kita mendaki Nagarkot. Dari ketinggian puncak pegunungan ini kita masih bisa menyaksikan suasana pedesaan di bawah yang mirip–mirip pemandangan di Puncak, Jawa Barat, dan juga petakan–petakan sawah di perbukitan yang bertingkat–tingkat seperti sawah terasering di Bali.

Komplet

Dengan luas wilayah yang hanya 147.181 kilometer persegi atau sekitar 1/13 wilayah daratan Indonesia dan 1/36 wilayah darat dan perairan Indonesia, Nepal tergolong tempat tujuan wisata yang komplet karena mampu memuaskan rasa haus turis dari berbagai kelompok minat.

Mulai dari treking dan pendakian puncak–puncak pegunungan tertinggi dunia; petualangan hobi atau wisata olahraga seperti bersepeda, bungy jumping, paragliding, dan balon udara; wisata air seperti rafting, kayaking, canyoning, boating, jet scooter, atau sekadar memancing. Ada juga ecotourism atau wisata keindahan alam, safari hutan taman nasional, hingga berburu.

Untuk mereka yang secara fisik tidak memungkinkan atau tak cukup punya waktu melakukan pendakian petualangan ke Himalaya, Lembah Kathmandu sudah menawarkan petualangan tak kalah seru, seperti yang kami alami. Berkelana di Kathmandu seperti menengok ke masa lalu. Kisah yang diceritakan pemandu wisata soal kuil– kuil itu seperti kisah–kisah dalam kitab Mahabharata yang sering kita dengar dalam pewayangan.

Suasana magis dunia para dewa seperti hidup kembali dan kental melekat pada kehidupan ritual keagamaan masyarakat Nepal sehari–hari dan juga pada relief di dinding kuil, candi, pagoda atau shikara. Kalau mau, tur ke seluruh kompleks kuil bisa diselesaikan dalam sehari.

Untuk paket tiga orang dengan menyewa satu mobil kecil plus seorang pemandu, kami harus merogoh 4.700 rupee Nepal (sekitar Rp 600.000) dari dompet kami. Itu sudah harga hasil negosiasi karena sebelumnya travel desk di hotel tempat kami menginap menawarkan harga 7.500 rupee.

Kunjungan dimulai dengan melihat Hanuman–dhoka Durbar Square yang merupakan kompleks kuil Hindu dan Buddha yang dibangun antara abad ke–12 dan ke–18. Puluhan kuil dan bangunan bersejarah lain bertebaran di kompleks ini, termasuk istana tua yang menjadi tempat kediaman raja, setidaknya hingga awal abad ke–20, dan juga Kumari ghar, tempat tinggal Dewi Kumari.

Dari sini kunjungan dilanjutkan ke kompleks kuil Buddha, Swoyambhunnath, yang berusia sekitar 2.000 tahun. Kuil ini lebih dikenal dengan nama "Monkey Temple" karena menjadi tempat tinggal populasi monyet dalam jumlah besar. Dari sini pemandangan kota Kathmandu terbentang indah di bawah.

Dari Swoyambhunnath, kami beranjak ke Patan Durbar Square di Patan yang merupakan kompleks candi Hindu dan Buddha. Keistimewaan kuil ini adalah pada detail ukiran artistik pada relief candi yang mengungkapkan kebesaran dinasti Malla yang memerintah di abad ke–17.

Perjalanan selanjutnya adalah ke kuil Hindu, Pashupatinath, yang berada di sisi kali suci Bagmati yang mengalir langsung ke Sungai Gangga di India. Di sini kita tidak saja bertemu para orang suci dengan riasan wajah tebal yang menghuni kuil–kuil ini, tetapi juga menyaksikan dari dekat prosesi kremasi jenazah orang yang baru saja meninggal.

Akhirnya, perjalanan sehari kami hari itu ditutup dengan mengunjungi kuil Buddha dengan stupa raksasanya, Boudhanath, yang berada di Little Tibet. Little Tibet adalah sebuah kota kecil di jalur perdagangan Nepal–Tibet yang legendaris, yang masuk Distrik Sherpa. Disebut Little Tibet karena daerah ini merupakan tempat tinggal para pengungsi Tibet yang lari ke Nepal pada tahun 1950–an.

Ritme napas kehidupan sehari–hari masyarakat di sekitar stupa raksasa ini menjadi representasi budaya dan gaya hidup masyarakat Tibet. Toko–toko yang menjual barang–barang khas Tibet dan orang–orang dari Tibet dengan pakaian tradisional Tibet. Pemandu kami tidak bohong. Di sini kami bisa melihat ribuan manusia dari berbagai penjuru dunia bertumpuk dan ibarat tersihir bergerak serentak mengitari Boudhanath.

Menurut kepercayaan setempat, dengan mengelilingi stupa sebanyak 1.000 kali, akan mempercepat moksa jiwa menuju pencerahan. Atraksi ribuan manusia dari berbagai negara yang berkumpul menjadi satu melakukan ritual bersama ini menarik banyak turis yang tidak jarang ikut lebur berbaur dalam barisan bergerak, mengitari stupa hingga malam turun dan langit berubah gelap. Menurut pemandu kami, tempat itu akan lebih penuh sesak lagi oleh manusia pada malam bulan purnama.

Jadilah tur sehari itu benar–benar paket full kuil. Dalam enam jam kami berhasil menuntaskan kunjungan ke lima dari tujuh tempat ziarah suci bagi warga Hindu dan Buddha yang sangat terkenal di Nepal. Berarti, sudah ratusan kuil kami datangi hari itu. Kami berkesempatan mengunjungi satu kompleks kuil lainnya, Bhaktapur Durbar Square, keesokan harinya.

Perjalanan ke Nepal pekan lalu memang tidak sia–sia. Meski gagal memotret salju di pucuk Everest dan Himalaya, kenangan manis akan Nepal lengkap dengan budaya dan masyarakatnya yang ramah, majemuk, namun hidup rukun terasa masih terus melekat hingga kami terbang pulang menuju Tanah Air.

4 Comments:

SFTOLC said...

In a submersible, I can hardly breath. As it takes me inside, so the light sings.

3-i-w said...

kalau di nepal kota seribu kuil di indonesia kota sejuta mesjid. tiap RT pasti ada mesjjid.

Anonim said...

sayang mesjid di indonesia banyak yg ga ke urus...

_Nunna_

JoVie said...

jadi pengen ke sana :D

Posting Komentar